Akibat Hukum Gharar dalam Perspektif Hukum Islam

Segala kegiatan yang berkaitan dengan aspek muamalah atau kemasyarakatan diperlukan adanya suatu aturan yang jelas, agar dalam melakukannya tidak ada kecurangan di antara pihak yang dapat merugikan orang lain. Dalam setiap transaksi kegiatan jual beli , dapat dikatakan sah atau tidaknya tergantung dari terpenuhinya rukun-rukun transaksi tertsebut. Rukun berarti tiang atau sandaran atau unsur yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sutau perbuatan yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan adanya atau tidak adanya sesuatu itu.

Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

Adapun rukun jual beli meliputi : Akid yaitu Bai’ (penjual) dan Mustari (pembeli), Shighat (ijab dan qabul), Ma’qud ‘alaih (benda atau barang).[1]

1. Akid yaitu Bai’ (penjual) dan Mustari (pembeli)

Bai’ (penjual) adalah seorang atau sekelompok orang yang menjual benda atau barang kepada pihak lain atau pembeli baik berbentuk individu maupun kelompok, sedangkan Mustari (pembeli) adalah seorang atau sekelompok orang yang membeli benda atau barang dari penjual baik berbentuk individu maupun kelompok.

2. Shighat (ijab dan qabul)

Yaitu ucapan penyerahan hak milik dari satu pihak dan ucapan penerimaan di pihak lain baik dari penjual dan pembeli.

3. Ma’qud ‘alaih (benda atau barang)

Merupakan obyek dari transaksi jual beli baik berbentuk benda atau barang. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi dalam akad jual beli adalah sebagai berikut :

a. Terkait dengan subyek akad (Aqid)

Subyek akad (aqid) yaitu penjual dan pembeli yang dalam hal ini bisa dua atau beberapa orang yang melakukan akad, adapun syarat-syarat bagi orang yang melakukan akad yaitu:

1) Berakal, jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum berakal dan orang gila hukumnya tidak sah. Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz, menurut ulama Hanafiyah, apabila akad yang dilakukannya membawa keuntungan bagi dirinya, seperti menerima hibah, wasiat dan sedekah maka akadnya sah. Sebaliknya, apabila akad itu membawa kerugian bagi dirinya, seperti meminjamkan hartanya kepada orang lain, mewakafkan atau menghibahkan, maka tindakan hukumnya ini tidak boleh dilaksanakan. Apabila transaksi yang dilakukan anak kecil yang telah mumayyiz mengandung manfaat dan madharat sekaligus, seperti jual beli, sewa menyewa dan perserikatan dagang, maka transaksi ini hukumnya sah, jika walinya mengizinkan. Yangmana wali anak kecil yang telah mumayyiz itu benar-benar mempertimbangkan kemaslahatan anak kecil itu.[2]

Jumhur ulama berpendapat, bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus akil baligh dan berakal. Apabila anak yang telah mumayyiz melakukan akad jual beli itu tidak sah walaupun telah mendapatkan izin dari walinya. Sedangkan jual beli yang berlaku di masyarakat sekarang ini dapat dibenarkan karena telah menjadi tradisi (urf) dalam masyarakat asalkan barang yang dibeli anak tersebut tergolong barang yang bernilai rendah.

2) Kehendak sendiri, hendaknya transaksi ini di dasarkan pada prinsipprinsip kerelaan (suka sama suka) antara penjual dan pembeli yang di dalamnya tersirat makna muhtar, yakni bebas melakukan transaksi jual beli dan terbebas dari paksaan dan tekanan.[3] Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat : 29

surat an Nisa ayat 29

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa’ : 29)

3) Keadaannya tidak mubazir, maksudnya para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli bukanlah manusia yang boros atau mubazir, sebab orang yang boros menurut hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak, artinya dia tidak dapat melaksanakan perbuatan hukum sendiri walaupun berkaitan dengan kepentingannya sendiri.[4] Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT surat an-Nisa’ ayat : 5

surat an Nisa’ ayat 5


Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”(QS. An-Nisa’ : 5)

4) Baligh, berumur 15 tahun ke atas atau dewasa. Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut pendapat sebagian ulama, mereka diperbolehkan jual beli barang-barang yang kecil, karena kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama Islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.[5]

b. Sighat akad (ijab qabul)

Ulama fiqih sepakat menyatakan, bahwa urusan utama jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan ini dapat terlihat pada saat akad berlangsung.

Ulama fiqih telah menyebutkan bahwa syarat ijab qabul adalah sebagai berikut:

1) Orang yang mengucapkannya yaitu penjual dan pembeli (bai’ dan mustari) telah akil baligh dan berakal.

2) Qabul sesuai dengan ijab, dalam arti seorang pembeli menerima segala apa yang diterapkan oleh penjual dalam ijabnya. Misal:

 “saya jual sepeda ini dengan harga sepuluh ribu rupiah”, kemudian pembeli menjawab, “saya beli dengan harga sepuluh ribu rupiah”.

3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis, maksudnya adalah bahwa kedua belah pihak yang melakukan akad jual beli hadir dan membicarakan masalah yang sama. Apabila penjual mengucapkan ijab, kemudian pembeli beranjak sebelum mengucapkan qabul atau pembeli mengadakan aktivitas lain yang tidak ada kaitannya dengan akad jual beli tersebut, kemudian sesudah itu mengucapkan qabul, maka menurut kesepakatan ulama fiqih, jual beli itu tidak sah, sekalipun mereka berpendirian, bahwa ijab tidak harus dijawab langsung dengan qabul.[6]Maka dapat diambil kesimpulan bahwa ijab qabul atau setiap perkataan atau perbuatan yang dipandang urf (kebiasaan) merupakan tolak ukur syarat suka sama suka atau saling rela yang tidak tampak.

Rukun akad adalah ijab dan qabul. Ijab dan qabul dinamakan shighatul aqdi atau ucapan yang menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak, shighatul aqdi ini memerlukan tiga syarat, yaitu sebagai berikut:

1) Harus terang pengertiannya

2) Harus bersesuaian antara ijab qabul

3) Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan.[7]

Lafadz yang dipakai untuk ijab dan qabul harus terang pengertian menurut urf (kebiasaan). Haruslah qabul itu sesuai dengan ijab dari segala segi. Apabila qabul menyalahi ijab, maka tidak sah akadnya. Kalau pihak penjual menjual sesuatu dengan harga seribu, kemudian pihak pembeli menerima dengan harga lima ratus, maka teranglah akadnya tidak sah, karena tidak ada tawafuq bainal ibaratin (penyesuaian antara dua perkataan).

Untuk sighat ijab dan qabul haruslah menggambarkan ketentuan iradad tidak diucapkan ragu-ragu, apabila sighat akad tidak menunjukkan kemauan atau kesungguhan, akad itu tidak sah.

c. Ma’qud ‘alaih

Ma’qud ‘alaih adalah obyek transaksi, sesuatu dimana transaksi dilakukan di atasnya, sehingga akan terdapat implikasi hukum tertentu.

Ma’qud ‘alaih bisa berupa asset-aset financial (sesuatu yang bernilai ekonomis) ataupun aset non financial, seperti wanita dalam akad pernikahan ataupun bisa berupa manfaat seperti halnya dalam akad ijarah (sewa).[8]

Ma’qud ‘alaih harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

1) Suci, bersih barangnya. Barang najis tidak sah untuk diperjual belikan dan tidak boleh dijadikan uang sebagai alat tukar, seperti kulit bangkai yang belum disamak.

2) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu, bangkai, babi dan benda-benda haram lainnya tidak sah menjadi obyek jual beli, karena benda-benda tersebut tidak bermanfaat bagi manusia dalam pandangan syara’.

3) Barang itu ada atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.

Namun dalam hal ini yang terpenting adalah saat diperlukan barang itu sudah ada dan dapat dihadirkan pada tempat yang telah disepakati bersama.[9]

4) Barang yang dimiliki, barang yang boleh diperjualbelikan adalah barang milik sendiri. Bahwa orang yang melakukan jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah barang tersebut atau telah mendapat izin dari pemilik sah barang tersebut.

5) Mengetahui atau barang yang dijual ini diketahui oleh pihak penjual maupun pembeli. Barang yang diperjuabelikan harus dapat diketahui banyaknya, beratnya, takarannya atau ukurannya, maka tidaklah sah suatu jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak.[10]

Ditegaskan oleh Nazar Bakry barang itu harus diketahui oleh penjual dan pembeli dengan terang zatnya, bentuk, kadar dan sifat-sifatnya sehingga tidak terjadi tipu daya.[11] Tujuannya adalah agar tidak terjadi kesalah pahaman di antara keduanya. Disamping barang tersebut harus diketahui wujudnya, harga barang tersebut juga harus diketahui jual beli tersebut sah atau tidak sah, karena mengandung unsur gharar.

Akibat dilarangnya jual beli gharar selain karena memakan harta orang lain dengan cara batil, juga merupakan transaksi yang mengandung unsur judi, seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya dan jual beli dengan lemparan batu. Larangan jual beli gharar tersebut karena mengandung ketidakjelasan, seperti pertaruhan atau perjudian, tidak dapat dipastikan jumlah dan ukurannya atau tidak mungkin diserah terimakan


[1] Rachmat Syafei, op. cit., h. 76.

[2] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, h. 115.

[3] Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Hukum Islam, Bandung: CV Diponegoro, 1992, h. 81.

[4] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, op, cit, h. 35.

[5] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010, h. 281.

[6] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, h. 120.

[7] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, PT. Pustaka Rizki Putra Semarang, 1997, h. 29.

[8] Dimyauddin Djuwaini, op, cit, h. 57.

[9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 72.

[10] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, h. 133.

[11] Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, h. 60.

No comments:

Post a Comment