1. Pengertian Ijarah
Kata
Ijarah dalam struktur bahasa Arab adalah bentuk masdar dari kata ajara-yu’jiru
‘ijaran mengandung arti imbalan, seperti dalam pernyataan “ista’jara ar-rajulu
al-rajula” yang maksudnya seseorang mempekerjakan seseorang dengan memberi upah
tertentu. Dalam kamus Lisan al-Arab, Ijarah berarti al-jaza’ ‘ala al-‘amal yang
berarti upah atas suatu pekerjaan.[1]
Ijarah
adalah suatu akad ataupun perjanjian berkaitan dengan pemakaian, pemanfaatan
ataupun pengambilan atas manfaat suatu benda tertentu atau atas pengambilan
jasa dari manusia dalam waktu tertentu disertai dengan imbalan atas pekerjaan
atau perbuatan yang telah dilakukannya.[2]
Akad
Ijarah atas jasa disamakan hukumnya dengan akad ijarah atas barang. Apabila
akad terhadap benda itu dibolehkan, maka akad atas jasa juga dibolehkan. Di
samping itu, persoalan kebutuhan akan jasa/ bantuan antar individu merupakan
tabiat manusia yang saling membutuhkan dan ada sifat saling bergantung.[3]
Keberadaan
Akad Ijarah dalam kehidupan manusia adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Karena tidak ada manusia yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendirian. Dalam
hal seseorang membutuhkan pakaian atau makanan, maka ia membutuhkan jasa orang
lain.[4]
2. Dasar Hukum Ijarah
Jumhur
ulama berpendapat bahwa Ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunah,
dan Ijma’.
a.
Al-Qur’an
Artinya:
“Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya.”
(QS. Thalaq : 6).[5]
Allah
berfirman:
Artinya:
Salah seorang dari wanita itu berkata: Ya bapakku ambillah ia sebagai orang
bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (Al-Qashash:
26).[6]
b.
As-Sunah
Artinya:
Dari Abi Hurairah r.a berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Berikanlah upah seorang buruh itu sebelum
kering keringatnya” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah).[7]
Hadits
ini memberikan sebuah etika dalam melakukan akad Ijarah, yakni memberikan
pembayaran upah secepat mungkin. Relevansinya dengan praktik Ijarah pada saat
sekarang adalah adanya keharusan untuk melakukan pembayaran uang sewa sesuai
dengan kesepakatan/ batas waktu yang telah ditentukan, tidak menunda-nunda
pemberian upah dari jadwal waktu yang telah disepakati.[8]
Sabda
Rasulullah
Artinya:
“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.”
Hadits
ini memberikan pemahaman tentang tata cara bagaimana melakukan akad Ijarah,
khususnya terkait dengan jumlah upah sewa yang akan dibayarkan. Penegasan upah
sewa dalam kontrak merupakan sesuatu yang harus diketahui, hal ini untuk
mencegah terjadinya perselisihan di kemudian hari. Kedua pihak harus
menjelaskan hak dan kewajiban di antara keduanya untuk menghindari adanya
perselisihan, dan guna memperjelas akad.[9]
Bahkan dengan memberikan informasi upah yang akan diterima, diharapkan akan
memberikan dorongan semangat bagi buruh untuk memulai pekerjaan, dan memberikan
ketenangan. [10]
c.
Ijma’
Umat
Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa Ijarah dibolehkan sebab bermanfaat
bagi manusia.[11]
Ini adalah suatu penjelasan yang cukup terang tentang keharusan adanya
perlindungan dari negara mengenai upah pekerja, agar tidak diperlakukan
sewenang-wenang oleh orang lain dalam harta yang semestinya harus diterima.
Upah yang menjadi miliknya itu adalah termasuk harta pekerja, maka wajib
dijamin kelancaran dan wajib dilindungi jumlahnya.[12]
3.
Syarat dan Rukun Akad Ijarah
a.
Rukun Ijarah
Menurut
ulama Mazhab Hanafi, rukun Ijarah hanya ijab dan qabul.
Sedangkan
menurut Jumhur ulama, rukun Ijarah ada empat yaitu:
1.
Adanya dua orang yang berakad
Pihak
yang mempekerjakan jasanya (mu’jir) dan pihak yang mempekerjakan orang lain
(musta’jir), Keduanya telah dewasa dan berakal, Akad Ijarah dilaksanakan atas
dasar kerelaan/ adanya kebebasan
2.
Sighat (ijab qabul)
Prinsip
dasar dari ijab qabul adalah pernyataan kerelaan kedua belah pihak untuk
melakukan akad, baik dinyatakan secara tertulis maupun lisan.
3.
Upah (ujrah)
Dengan
cara membuat kesepakatan baik kadar maupun tata cara pembagiannya.
4.
Nilai manfaat.
Kejelasan
manfaat untuk menghindari terjadinya perselisihan.[13]
b.
Syarat Ijarah
Berkaitan
dengan syarat-syarat dari akad Ijarah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Adanya keridaan dari kedua pihak yang akad
2. Mengetahui
manfaat dengan jelas terhadap barang atau jasa yang akan diakadkan. Dengan cara
menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika
Ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang. [14]
3.
Kalau sewa menyewa terhadap sesuatu dalam bentuk barang, maka barang tersebut
haruslah jenis barang yang dapat dimanfaatkan menurut kriteria syari’at
4.
Imbalan atau upah haruslah berupa harta yang mempunyai nilai yang jelas
5.
Barang yang menjadi objek sewa menyewa adalah jenis barang yang dapat
diserahterimakan.[15]
4.
Macam-Macam Ijarah
Akad
Ijarah dilihat dari segi objeknya, dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.
Ijarah yang bersifat manfaat. Seperti: Sewa-menyewa, rumah, toko, kendaraan,
pakaian (pengantin) dan perhiasan
2.
Ijarah yang bersifat pekerjaan, ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk
melakukan suatu pekerjaan. Ijarah ini dibolehkan seperti buruh bangunan, tukang
jahit, tukang sepatu yang kemudian disebut dengan Ijarah yang bersifat kelompok
(musytarak). Ijarah yang bersifat pribadi juga dapat dibenarkan seperti tukang
kebun dan satpam.[16]
Dalam
masalah yang berhubungan dengan perburuhan dan hubungan hukum antara buruh dan
majikan lebih menitikberatkan pada Ijarah yang bersifat pekerjaan (Ijarah
al-‘amal)
5.
Macam-Macam Buruh
1. Buruh
Musytarak adalah orang yang bekerja untuk lebih dari satuorang dan pembayaran
upahnya setelah semua pekerjaan selesai dan pekerjaan yang dilakukan adalah
pada sektor publik yang diproduksi untuk kepentingan orang banyak. Buruh
musytarak dalam melakukan kesalahan atas pekerjaannya. Konsep
pertanggungjawabannya ada 3 hal:
a.
Apabila kerusakan terjadi karena tindakan pelanggaran yang dilakukannya
sendiri, maka wajib mengganti risikonya.
b.
Apabila kerusakan akibat sesuatu di luar kehendaknya, seperti kebakaran atau
kebanjiran maka tidak ada kewajiban menanggung
c.
Apabila kerusakan karena hal lain di luar kehendaknya, menurut Abi Yusuf dan
Muhammad wajib menanggung risiko sedangkan menurut Abu Hanifah tidak.[17]
2.
Buruh Khas (al-ajir al-khas/ al-ajir al-wakhid) adalah buruh yang mendapat upah
dengan cara menyerahkan dirinya untuk dipekerjakan dalam waktu tertentu/
kontrak. Jadi buruh tidak bekerja pada (sektor informal). Masa kerja sesuai
dengan waktu yang disepakati, buruh tidak boleh bekerja pada orang lain.
Apabila pihak yang menyewa membatalkan kontrak sewanya sebelum berakhir masa
kontrak, maka buruh berhak mendapat bayaran penuh.[18]
6.
Pembayaran Ijarah (upah)
Jika
Ijarah itu pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya
pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, Jika Akad sudah berlangsung dan tidak
disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhanya, menurut
Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat
yang diterimanya.
Upah
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1.
Upah yang telah disebutkan (ajrul musamma), yaitu upah yang telah disebutkan
pada awal transaksi, syaratnya adalah ketika disebutkan harus disertai adanya
kerelaan (diterima) oleh kedua belah pihak.
2.
Upah yang sepadan (ajrul mistli) adalah upah yang sepadan dengan kerjanya serta
sepadan dengan kondisi pekerjaannya. Maksudnya adalah harta yang dituntut
sebagai kompensasi dalam suatu transaksi yang sejenis pada umumnya.[19]
Islam
dalam penetapan upah memperhatikan dua hal, yaitu:
a.
Nilai kerja itu sendiri, karena tidak mungkin disamakan antara orang yang
pandai dan orang yang bodoh, orang yang tekun dan orang yang lalai, karena
menyamakan antara dua orang yang berbeda adalah suatu kedzaliman.
b.
Kebutuhan pekerja.[20]
Setiap
perusahaan wajib membayar upah pokok yang memadai dan
upah
pokok inilah yang merupakan upah yang layak. Tingkat upah yang
harus
diberikan majikan kepada buruh, haruslah dapat memenuhi:
a)
Kebutuhan pangan buruh
b)
Kebutuhan sandang
c)
Kebutuhan tempat tinggalnya[21]
d)
Upah kerja yang diberikan oleh pemberi kerja minimal harus dapat memenuhi
kebutuhan pokok buruh dan keluarganya, sesuai dengan kondisi setempat. [22]
Seorang
majikan memiliki kewajiban membayar dan merencanakan upah yang adil kepada para
buruh. Jika tingkat upah terlalu rendah, para buruh mungkin tidak termotivasi
untuk berusaha secara maksimal. Sama halnya jika tingkat upah terlalu tinggi
majikan mungkin tidak mendapatkan keuntungan dan tidak dapat menjalankan
perusahannya.[23]
Menyangkut
penentuan upah kerja, syariat Islam tidak memberikan ketentuan yang rinci
secara tekstual, baik dalam Alqur’an maupun hadits.
Secara
umum Alqur’an ada kaitanya dengan penentuan upah kerja adalah:
Artinya:
“Allah memerintahkan berbuat adil, melakukan kebaikan, dan dermawan terhadap
kerbat. Ia melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan penindasan. Ia
mengingatkan kamu supaya mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90). [24]
Ayat
ini dapat disebutkan bahwa Allah memerintahkan kepada majikan untuk berlaku
adil, berbuat baik, dan dermawan kepada buruh.
kata
kerabat dalam ayat di atas, dapat di artikan buruh, sebab buruh sudah
merupakan
bagian perusahaan. Dengan kata lain majikan dan buruh mempunyai andil yang
sama.
Disebabkan
buruh mempunyai andil yang besar untuk kesuksesan usaha majikan, maka majikan
berkewajiban untuk menyejahterakan buruhnya, termasuk memberikan upah yang
layak.[25]
Jika
ada majikan yang membayar mereka dengan upah yang kurang atau membebani mereka
dengan pekerjaan yang sangat berat atau mempekerjakan di luar batas waktu tanpa
ganti rugi yang sesuai atau mempekerjakan mereka dalam kondisi yang tidak sehat
dan lainnya, negara Islam berhak untuk ikut campur tangan demi menyelamatkan
hak-hak buruh.[26]
Islam
sangat memperhatikan mengenai hak-hak pokok buruh, yang wajib dipenuhi oleh
pemberi pekerjaan yaitu sebagai berikut:
1.
Buruh berhak menerima upah yang memungkinkan untuk menikmati kehidupan yang
layak
2.
Buruh tidak boleh diberi pekerjaan yang melebihi kemampuan fisiknya.
3.
Buruh harus diberi bantuan pengobatan yang tepat jika sakit dan membayar biaya
pengobatan yang sesuai pada saat itu.
4.
Penentuan yang layak harus dibuat untuk pembayaran pensiunan bagi buruh.
5.
Buruh harus dibayar dengan ganti rugi yang sesuai atas kecelakaan yang terjadi
dalam pekerjaan.[27]
[1] Ridwan, Fiqih Perburuhan, Cet. Ke-1, Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2007, hlm. 44
[2] Ridwan, Ibid, hlm. 45
[3] Ibid, hlm. 46
[4] Ibid, hlm. 49
[5] Departemen Agama RI, Alqur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara, 1971, hlm. 946
[6] Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 613
[7] Kitab Subulus Salam, HR. Ibnu Majah, hlm. 81
[8] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, Cet Ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 156
[9] Dimyauddin Djuwaini, Ibid, hlm. 157
[10] Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Surakarta: Erlangga, 2012, hlm. 202
[11] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 124
[12] Musthafa Husni Assiba’i, Kehidupan Sosial menurut Islam Tuntunan Hidup Bermasyarakat, Cet Ke-4, Bandung: CV. DIPONEGORO, 1993, hlm. 181
[13] Rachmat Syafei, Op Cit, hlm. 125
[14] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 126
[15] Ridwan, Fiqih Perburuhan, Cet. Ke-1, Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2007, hlm.
[16] Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalat), Cet Ke-1, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, hlm. 236
[17] Ridwan, Op Cit, hlm. 58
[18] Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar Bin Al-Khathab, Cet Ke-1, Jakarta: Khalifa, 2006, hlm. 241
[19] Nurul Huda, Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoretis, Cet Ke-1, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 230
[20] Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Surakarta: Erlangga, 2012, hlm. 204
[21] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Cet. Ke-3, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 156
[22] Roedney Wilson, Bisnis Menurut Islam Teori Dan Praktek, Cet. Ke-1, London: PT Intermasa, 1998, hlm. 106
[23] Muhammad & Lukman Fauroni, Visi Al-Qur’an Tentang Etika Dan Bisnis, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 175
[24] Departemen Agama RI, Alqur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara, 1971, hlm. 415
[25] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Cet. Ke-3, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 155
[26] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 2, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 390
[27] Afzalur Rahman, Ibid, hlm. 392
No comments:
Post a Comment