TINJAUAN HAKI DALAM HUKUM POSITIF DAN PRESPEKTIF ISLAM
A. HAKI dalam Syariat Islam.
Ditinjau dari syariat Islam, kita harus melihat dari beberapa sudut pandang jika kita ingin
membicarakan mengenani kekayaan intelektual. Pada zaman Rasulullah tidak ada larangan untuk
menggunakan gagasan orang lain atau penemuan penemuan orang lain. Dengan kata lain kita tidak
perlu meminta izin kepada penemu untuk meniru gagasan maupun penemuan tersebut. Hal ini
dikarenakan sudut pandang pada masyarakat dahulu berbeda dengan sekarang mengenai harta
kekayaan. Pada zaman sekarang, cara pandang masyarakat telah berubah. Masyarakat telah
memperluas sudut pandang mereka tentang arti harta kekayaan. Bila pada zaman dahulu kekayaan
hanya terbatas pada materi, maka di zaman sekarang kekayaan telah mencakup berbagai hal-hal lain.
Perubahan persepsi masyarakat semacam ini dalam syari'at Islam dapat diterima, sehingga dapat
dijadikan sebagai dasar dalam menentukan hukum.
Pandangan para ulama mengenai HaKI
Syari'at Islam datang bukan untuk mengekang urusan hidup umat manusia. Karena setiap perintah
agama pasti manfaatnya lebih besar dari kerugiannya. Bila demikian adanya, maka pengakuan dan
penghargaan masyarakat internasional terhadap kekayaan intelektual seseorang, tidak bertentangan
dengan Syari'at. Karena pengakuan ini, mendatangkan banyak kemaslahatan bagi umat manusia.
Harta kekayaan yang dalam bahasa arab disebut dengan al maal. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh :
o Imam As Syafii adalah: "Setiap hal yang memiliki nilai ekonomis sehingga dapat diperjual-belikan,
dan bila dirusak oleh orang lain, maka ia wajib membayar nilainya, walaupun nominasi nilainya
kecil."
o "Segala sesuatu yang bermanfaat atau dapat dimanfaatkan, baik berupa benda atau kegunaan
benda", sebagaimana ditegaskan oleh Imam Az Zarkasyi.
o "Segala sesuatu yang kegunaannya halal walau tidak dalam keadaan darurat", sebagaimana
diungkapkan oleh para ulama' mazhab Hambali.
Dengan demikian, sebutan harta kekayaan menurut para ulama' mencakup kekayaan intelektual,
karena kekayaan intelektual mendatangkan banyak manfaat, dan memiliki nilai ekonomis.
Hukum syariat terhadap pelanggaran HAKI
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu." (Qs. An
Nisa': 29)
Tujuan utama hukum Islam sendiri pada dasarnya adalah untuk melindungi hak milik umat manusia.
Hal ini sebagimana dirumuskan oleh Al-Ghazali, bahwa tujuan utama hukum syariat Islam adalah
memelihara lima hal pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Di dalam Islam, hukum mencuri yang merupakan pelanggaran terhadap hak milik, ditegaskan di dalam
Al-Quran:
'Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasan dan
Maha Bijaksana' . (Q.S. Al Maidah: 38 ).
Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda tentang bahaya mencuri bagi suatu masyarakat dan
ketegasan hukumnya:
”Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya”.
(RiwayatBukhari)
Sedemikian lengkapnya Islam mengatur tentang hak milik, tentang bagaimana mendapatkan,
memelihara, memberikan, dsb. Selain itu hukum Islam juga mengatur bagaimana keuntungan yang
didapatkan jika mematuhi dan sanksi yang didapatkan jika melanggarnya.
Dalam menanggapi hal ini MUI secara khusus juga mengeluarkan fatwa untuk mengatur tentang HAKI,
yaitu Keputusan Fatwa MUI, No : 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang Perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual (HKI).
B. Hukum Nasional
Konstitusi RIS 1949
Pasal 8 Konstitusi RIS 1949 menyebutkan : ”Sekalian orang yang ada di daerah Negara sama berhak
menuntut perlindungan untuk diri dan harta bendanya”.
Pasal 38 Konstitusi RIS : “Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudayaan serta kesenian
dan ilmu pengetahuan. Dengan menjunjung asas ini, maka penguasa memajukan sekuat tenaganya
perkembangan kebangsaan dalam kebudayaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan”.
UUDS 1950
Pasal 8 :”Sekalian orang yang ada di daerah Negara sama berhak menuntut perlindungan untuk diri dan
harta bendanya”.
Pasal 19 :” Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”.
Pasal 26 ayat (1) : ”Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain”.
Pasal 26 ayat (2) : ”Seorangpun tidak boleh dirampas miliknya dengan semena-mena”.
Pasal 26 ayat (3) : ”Hak milik itu adalah suatu fungsi social”.
Pasal 28 ayat (1) : ”Setiap warga Negara, sesuai dengan kecakapannya, berhak atas pekerjaan yang
layak bagi kemanusiaan”.
Pasal 28 ayat (2) : ”Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan dan berhak pula atas syaratsyarat
perburuhan yang adil”.
UUD 1945 (setelah Amendemen)
Pasal 28 : ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Bab XA tentang HAM (Hasil Amendemen tahun 2000)
Pasal 28C ayat (1) : ”Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Pasal 28C ayat (2) : ”Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.
Pasal 28E ayat (3) : ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat”.
Pasal 28G ayat (1) : ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Pasal 28H ayat (4) : ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”.
No comments:
Post a Comment