mengenal kontak secara islam

judul asli Contract sharia

Tulisan Oleh : Syamsul Falah

Sumber : Majalah Sabili (No. 12 Th. IX 5 Desember 2001)

 

Manusia dimasukkan dalam kelompok makhluk sosial yang mana satu dengan yang lainnya saling membutuhkan dan adanya ketergantungan. Interaksi manusia mengalami perkembangan yang sangat signifikan, termasuk interaksinya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan beragamnya transaksi ekonomi dan keuangan di masyarakat, diantaranya adalah transaksi forward. Dalam kesempatan ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan transaksi ini.

Dalam kontrak forward penjual dan pembeli sepakat melakukan transaksi jual beli dengan harga yang telah disepakati di awal, sedangkan pembayaran pengantaran barang dilakukan didepan. Transaksi ini dilakukan untuk mengantisipasi jika terjadi deviasi dari transaksi tunai (spot) yang akan dilaksanakan di depan atau yang biasa dikenal dengan sebutan hedging. Transaksi ini banyak dilakukan dalam transaksi valuta asing. Seorang penjual sepakat menjual dollar-nya dengan harga tertentu di kemudian hari.

Contohnya, US$ 1 dijual dengan Rp 10.000. Sekali lagi transaksi ini bertujuan untuk melindungi dirinya dari kerugian akibat terdapat variasi (selisih) nilai pertukaran. Jika kemudian harga pertukaran pada tanggal jatuh tempo menjadi Rp 10.500, maka penjual akan mengalami kerugian sebesar Rp 500 per dollar. Sebaliknya jika harga ternyata menjadi Rp 9.600, maka penjual akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 400.

Yang menarik dan patut mendapatkan sorotan dari segi syariah dari transaksi semacam ini adalah ketika satu pihak mendapatkan gain maka yang lain akan mengalami kerugian. Orang yang terlibat dalam transaksi ini sesungguhnya telah menyeburkan dirinya ke dalam zero sum game atau win lose game. Permainan seperti ini biasa juga dikenal dengan stricly competitive game, secara diametrik pihak yang terlibat dalam transaksi ini akan menjadi lawan bagi pihak yang lainnya. Satu pihak baru akan mendapatkan gain (keuntungan) jika pihak lainnya menderita kerugian.

Kedua pihak yang terlibat dalam kontrak ini pastinya meyakini bahwa nilai tukar akan tidak stabil, karena jika mereka yakin bahwa nilai tukar stabil, maka melakukan hedging akan tidak bermakna. Ketidakstabilan ini menyebabkan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi ini memiliki harapan dan keinginan yang berbeda. Jika mereka tergolong orang-orang yang percaya pada Tuhan, maka mereka akan berdoa memohon agar pihaknya setidak-tidaknya tidak merugi dan akan lebih bagus kalau mendapatkan gain.

Ulama dan fuqoha mendefinisikan maysir (gambling) sebagai sebuah permainan dimana satu pihak akan memperoleh keuntungan sementara pihak lainnya akan menderita kerugian (Ibnu Qudama: Al Mughni, 13/408). Ibnu Taimiyah mengatakan yang termasuk maysir adalah mendapatkan harga (pembayaran) dengan tidak memberikan apa-apa, getting something for nothing. Atau lebih lanjut beliau mengatakan perilaku seperti ini sama dengan cara yang bathil.

Melihat definisi tersebut, hedging dapat dikategorikan sebagai transaksi yang mengandung unsur maysir, maka terkena larangan Allah, la tadzlimuuna wa la tudzlamuun, jangan lah kamu mendzalimi dan didzalimi. Bahkan Allah pun telah jelas-jelas melarang maysir ini dengan firmannya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi (maysir), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS 5/90).

Lalu bagaimana halnya dengan jual beli murabahah atau jual beli saham? Dalam kedua jual beli ini harga tidak dibayarkan secara tunai. Dalam jual beli murabahah dan jual beli saham barang baru akan diserahkan kemudian hari.

Masing-masing penjual maupun pembeli akan mendapatkan keuntungan dalam transaksi murabahah. Dari sisi penjual, jual beli semacam ini akan mengurangi inventori. Memberbesar market share dan tentunya penjual juga akan menikmati harga yang lebih baik dibandingkan dengan harga tunai. Sedangkan dari sisi pembeli akan menikmati keuntungan dengan cara menggunakan barang yang berada dalam kekuasaannya, dan dengan itu pula dia dapat mendapatkan pemasukan finansial yang dapat digunakan untuk membayar atau mengangsur kewajibannya yang timbul karena transaksi ini.

Sedangkan dalam jual beli saham, pembayaran yang dilakukan dimuka oleh pembeli akan membantu neraca yang bersangkutan karena hutang dagangnya menjadi menurun dan tentunya dia akan mendapatkan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga spot. Sedangkan dari sisi penjual dia akan mendapatkan keuntungan dari segi fasilitas pembiayaan yang diperolehnya. Dengan fasilitas pembiayaan ini dia memiliki kesempatan untuk mendapatkan keuntungan. Dalam transaksi ini para pihak yang terlibat akan mendapatkan keuntungan tanpa harus merugikan pihak lain.

Dalam transaksi jual beli murabahah dan jual beli saham tidak didapati adanya pihak yang mendapatkan keuntungan diatas kerugian pihak lainnya. Yang terjadi adalah pertukaran keuntungan antara pihak-pihak yang terlibat, dan tercipta kondisi win-win solution atau juga biasa dikenal dengan mutual dependance. Sesuai dengan semangat taawun dan kerjasama yang menjadi ciri dari sistem ekonomi Islam, walaupun bila dibandingkan dengan profit and loss sharing yang ada dalam transaksi mudharabah dan musyarakah (bila dijalankan dengan benar) bobot nilai keadilan, kerjasama dan taawun transaksi ini masih berada dalam strata yang lebih rendah. Tetapi hal ini jangan dijadikan alasan untuk meninggalkan jual beli ini. Transaksi ini akan memberikan manfaat yang maksimal bagi mereka yang membutuhkan future contract secara islami.

No comments:

Post a Comment