Gharar menurut bahasa artinya keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan merugikan pihak lain. Suatu akad mengandung unsur penipuan, karena tidak ada kepastian baik mengenai ada atau tidak ada obyek akad, besar kecil jumlah maupun menyerahkan obyek akad tersebut.
Pengertian
gharar menurut para ulama fikih Imam al-Qarafi, Imam Sarakhsi, Ibnu Taimiyah,
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Hazam, sebagaimana dikutip oleh M. Ali Hasan [1]adalah
sebagai berikut: Imam al-Qarafi mengemukakan gharar adalah suatu akad yang
tidak diketahui dengan tegas, apakah efek akad terlaksana atau tidak, seperti
melakukan jual beli ikan yang masih dalam air (tambak). Pendapat al-Qarafi ini
sejalan dengan pendapat Imam Sarakhsi dan Ibnu Taimiyah yang memandang gharar
dari ketidakpastian akibat yang timbul dari suatu akad. Ibnu Qayyim al-Jauziyah
mengatakan, bahwa gharar adalah suatu obyek akad yang tidak mampu diserahkan,
baik obyek itu ada maupun tidak ada, seperti menjual sapi yang sedang lepas.
Ibnu Hazam memandang gharar dari segi ketidaktahuan salah satu pihak yang
berakad tentang apa yang menjadi akad tersebut.
Dari
beberapa definisi di atas dapat diambil pengertian bahwa gharar yaitu jual beli
yang mengandung tipu daya yang merugikan salah satu pihak karena barang yang
diperjual-belikan tidak dapat dipastikan adanya, atau tidak dapat dipastikan
jumlah dan ukurannya, atau karena tidak mungkin dapat diserah-terimakan.[2]
Hukum
jual beli gharar dilarang dalam Islam berdasarkan al-Qur’an dan hadis. Larangan
jual beli gharar didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang melarang memakan
harta orang lain dengan cara batil, sebagaimana firman Allah dalam surat
An-Nisa’ ayat : 29
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An-Nisa’ : 29)3
Surat
Al-Baqarah ayat : 188
Artinya
: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.”(QS. Al-Baqarah:
188)4
Menurut
terminologi Sayyid Sabiq mengartikan jual beli gharar adalah:
Artinya:
“Bai’ul gharar adalah setiap jual beli yang memuat ketidaktahuan atau memuat
pertaruhan dan perjudian.”[3]
Hadist
Riwayat Bazar dan Shohih Al-Khakim:[4]
Artinya:
“Dari Rifa’ah bin Rofiq, Nabi pernah ditanya, apakah profesi yang paling
baik?Rasulullah menjawab usaha yang paling utama adalah hasil usaha seseorang
dengan tangannya sendiri dan hasil jual beli yang mabrur.”(HR. Bazar dan Shohih
Al-Khakim)
[1] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, h. 147-148
[2] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 133.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth), h. 161.
[4] Sayyid al-Imam Muhammad ibn Ismail al-Kahlani al-Sun’ani, Subul Al-Salam Sarh Bulugh Al-Maram Minjami’ Adilati Al Ahkam, Kairo: Juz 3, Dar Ikhya’ al-Turas al-Islam, 1960, h.
No comments:
Post a Comment