Tulisan Oleh : H. Mohamad Hidayat (Anggota Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional MUI tahun 2002)
Kita merasa bersyukur dan gembira karena saat ini kajian tentang ekonomi Islam semakin meluas. Maraknya kajian ekonomi Islam ini tentu akan mempengaruhi kajian mikro ekonomi seperti akuntansi. Bagi kita di Indonesia, kajian itu akan semakin terarah dengan telah disahkannya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Indonesia (PSAK) no 59, yang merupakan hasil kerjasama antara Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dengan Bank Indonesia (BI). PSAK 59 yang berisi aturan tentang Akuntansi Perbankan Syariah ini akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2003.
Namun PSAK 59 itu pula yang kini tengah menjadi perbincangan ramai di kalangan peminat dan pengamat ekonomi syariah.Semua itu berawal dari keberatan Dirut Bank Muamalat Indonesia (BMI) A Riawan Amin terhadap penerapan PSAK 59 (Republika, Rabu 31 Juli 2002). Keberatan Riawan Amin berkisar pada penggunaan metode accrual basis dalam laporan keuangan perbankan syariah. Selama ini BMI menggunakan cash basis dalam laporan keuangannya.
Dalam Islam perbedaan merupakan rahmat, karena itu marilah kita bahas secara tenang permasalahan ini. Perintah melakukan pencatatan untuk setiap transaksi (khususnya utang piutang) dinyatakan dalam QS. Al Baqarah 2:282 : “ Hai orang-orang yang beriman apabila kamu melakukan transaksi secara utang untuk masa yang akan datang maka catatkanlah (bukukanlah) … “.Sepintas ayat ini memberikan panduan mencatat suatu transaksi secara accrual basis, terlebih lafaz “ faaaktubuuh “ diartikan dengan : “bukukanlah”. Dalam bahasa akuntansi “membukukan” adalah “mengakui sebagai pendapatan.” Metode accrual basis ini pun diperkuat dengan riwayat masa Utsman ibn Affan, di mana piutang (yang belum diterima kreditur) dapat diperhitungkan sebagai objek zakat. Sebagian fuqaha` menyetujui cara Ustman ini sebagai langkah ihtiyaath (berhati-hati) dan tazkiyyah (penyucian harta). Prinsip accrual ini semakin mendapat argumen, ketika kita mengamati bahwa pihak yang diperintah (mukhatab) oleh QS 2 :282 ini adalah pihak kreditur dan debitur. Dari perspektif akuntansi hal ini dapat berarti, pendapatan dan biaya dapat diakui secara accrual.
Tetapi apabila kita menggunakan metode taqyid al ayat (keterkaitan antar ayat Al Qur’an), antara QS 2 : 282 dengan QS. Luqman 31: 50, kita melihat indikasi accrual basis (khususnya untuk pendapatan) tidak diperkenankan. “ Dan tidaklah seorangpun tahu apa yang akan diusahakannya besok “ . Untuk memperkuat ini sebagian ulama menyatakan bahwa perintah pada QS 2 : 280 hanya sebatas “mencatat” transaksi bukan “mengakui” perolehannya. Pengakuan atas perolehan baru dilakukan pada saat diterimanya dana (cash). Ketegasan larangan meng-accru pos pendapatan, sepertinya tidak berlaku pada sisi biaya sebagaimana kita ikuti riwayat masa Ustman tadi. Namun tidak berarti metode ini lebih baik daripada metode cash basis, terlebih bila unsur transparansi, keadilan dan kejujuran lebih dirasakan. Patut kita ingat, argumentasi syariah yang memperbolehkan pencatatan dengan accrual berlaku untuk para pihak yang terlibat langsung dalam transaksi individu, di mana risk & returnnya ditanggung secara individual langsung. Bagaimana halnya dengan bank syariah? Posisi bank syariah hanya merupakan pemegang amanah (mudharib) dari share holders dan pihak ketiga. Ia harus menyampaikan dan melaporkan keuangannya kepada para pihak secara terbuka, riil dan bertanggung jawab.
Mengamati norma akuntansi syariah di atas, serta karakter bank syariah yang beroperasi atas prinsip bagi hasil (pada sisi funding), serta produk jual beli, sewa dan administrasi yang menggunakan prinsip selain bagi hasil (pada sisi lending), maka kerangka dasar penyajian laporan bank syariah akan berbeda dengan bank konvensional.
Penghitungan pendapatan untuk tujuan bagi hasil sangat tepat dengan menggunakan dasar kas (cash basis). Tidak hanya untuk pendapatan bagi hasil tetapi juga pendapatan jual beli dan sewa. Sedangkan untuk kewajiban dapat saja digunakan dasar accrual namun dengan melihat periode kewajiban itu.
Apa yang diistilahkan dengan “konsistensi” dan “taat asas” sebagai bagian dari sifat kualitatif akuntansi tidak boleh diterjemahkan secara sempit dalam double entry system. Terlebih apabila penggunaannya nanti menabrak prinsip syariah. Untuk itulah diperlukan penyusunan laporan keuangan bank syariah yang mengikuti karakter dasar perbankan syariah itu sendiri, serta mengakomodasi prinsip-prinsip akuntansi umum. Dan bukan sebaliknya.
No comments:
Post a Comment